Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku
Penggunaan Frekuensi Radio Tanpa Izin Berdasarkan Undang-Undang Tentang
Telekomunikasi
(Criminal Liability For People To Use Radio Frequency Without Licensed By The Law On Telecommunications)
BUDI BAHREISY
Universitas Dharmawangsa Medan
Jalan. KL. Yos Sudarso No. 224 Medan
Abstrak
Perkembangan pertanggungjawaban pidana sebagai pelaku tindak
pidana adalah sesuai dengan tujuan dan fungsi hukum untuk memberikan sarana
perlindungan masyarakat dan kesejahteran masyarakat, sebab kecenderungan
melakukan pelanggaran hukum untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya
telah menjadi realita masyarakat. Telekomunikasi adalah setiap
pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk
tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat,
optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya, Penyiaran radio merupakan
salah satu bagian dari Telekomunikasi. Perizinan adalah hal utama dari
pengaturan mengenai penyiaran. Dengan kata lain, perizinan juga menjadi
instrumen pengendalian tanggungjawab secara kontinyu dan berkala agar setiap
lembaga penyiaran tidak menyimpang dari misi pelayanan informasi kepada publik.
Seseorang dapat dimintapertanggung jawaban secara pidana adalah karena
seseorang itu memiliki kesalahan. Kesalahan ada dua bentuk dalam hukum pidana.
Pertama sengaja dan kelalaian keduanya sama-sama dapat dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban
pidana dapat diminta bagi pelaku penggunaan frekuensi radio tanpa izin
tercantum pada Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi yaitu dengan dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan
atau denda paling banyak Rp.400.000.000
Kata Kunci :
PertanggungjawabanPidana, Penggunaan
Frekuensi Tanpa Izin,Telekomunikasi
A.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Perkembangan
teknologi komunikasi dan informasi telah melahirkan masyarakat informasi yang
makin besar tuntutannya akan hak untuk mengetahui dan hak untuk mendapatkan
informasi. Informasi
itu sendiri telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat dan telah menjadi
komoditas penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kebutuhan akan
informasi dengan menggunakan teknologi komunikasi harus dapat terjaga dengan
baik, dengan kata lain diperlukan sistem pengamanan (security) karena
secara teknis kebutuhan informasi dan sistem ini sendiri sangatlah rentan untuk
tidak bekerja sebagaimana mestinya (malfunction), dapat diubah-ubah
ataupun diterobos oleh pihak lain baik oleh orang maupun lembaga yang tidak
bermaksud jahat (unintentional threats) maupun yang bermaksud jahat atau
intentional threats (Edmon
Makarim, 2004:92).
Penyelenggara Telekomunikasi dapat menyelenggarakan Telekomunikasi untuk
keperluan penyiaran khususnya radio (Pasal 9 ayat (3) huruf (c) Undang-undang Telekomunikasi
Nomor 36 tahun 1999), Prinsip dasar penyelenggaraan penyiaran akibat perkembangan teknologi dan
informasi berkaitan erat dengan prinsip-prinsip penjaminan dari negara agar
aktivitas Penyiaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran berdampak positif
bagi publik. Publik
harus memiliki akses yang memadai untuk dapat terlibat, memanfaatkan,
mendapatkan perlindungan, serta mendapatkan keuntungan dari kegiatan penyiaran.
Guna mencapai keberhasilan dari prinsip ini sangat dibutuhkan prinsip lain yang
secara melekat (embedded) menyokong lembaga Penyiaran, yakni
prinsip diversity of ownership (keberagaman kepemilikan) dan diversity
of content (keberagaman isi) dari lembaga Penyiaran. kedua
prinsip diversity ini diharapkan, negara dapat melakukan penjaminan
terhadap publik melalui penciptaan iklim kompetitif antar lembaga Penyiaran agar
bersaing secara sehat dalam menyediakan pelayanan informasi yang terbaik kepada
publik. Untuk itu sangat diperlukan penekanan pada prinsip keterbukaan akses,
partisipasi, serta perlindungan dan kontrol publik. Prinsip ini membuka peluang
akses bagi setiap warga negara untuk menggunakan dan mengembangkan
penyelenggaraan
Telekomunikasi khususnya di bidang Penyiaran
nasional. Undang-undang memberi hak, kewajiban dan tanggungjawab serta
partisipasi masyarakat untuk mengembangkan Telekomunikasi khususnya di bidang Penyiaran radio, seperti
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, mencari, memperoleh, memiliki
dan menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi di lembaga Penyiaran serta
mengembangkan kegiatan literasi dan/atau pemantauan untuk mengawasi dan
melindungi publik dari isi siaran yang merugikan masyarakat (Edmon Makarim, 2004:92).
Menurut
Wahyudi (1996:12), pengertian Radio adalah pemancar gelombang elektromagnetik yang membawa
muatan sinyal suara, yang terbentuk melalui microphone,
kemudian pancaran ini diterima oleh sistem antena untuk diteruskan ke pesawat
penerima dan sinyal radio itu diubah menjadi suara atau audio di dalam loudspeaker. Menurut
Simanjuntak (1993:70), pengertian radio adalah sistem komunikasi
yang menggunakan udara atau ruang antariksa sebagai bahan antara (medium) yang bentuk umum sistemnya
adalah sebuah pemancar yang memancarkan dayanya melalui antena ke arah tujuan
dalam bentuk gelombang elektromagnetis.
Berikut ini adalah
salah satu contoh
kasus pencurian frekuensi radio seperti terdapat pada Putusan Pengadilan Negeri
Salatiga Nomor 91/Pid.B/2013/PN-Sal tanggal 11 November 2013, telah menjatuhkan hukuman
pidana kepada terdakwa Arif Arinto Bin Ngatman yang terbukti bersalah secarah sah dan meyakinkan telah
melakukan tindak pidana “penggunaan spekrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit
tanpa izin Pemeritah”. Hukuman tersebut berupa pidana penjara selama 6 (enam) bulan dengan denda
sebesar Rp1000.000 (satu juta rupih) dan membayar biaya perkara sebesar Rp.1000-(seribu rupiah),
Penggunaan frekuensi radio tanpa izin ini bukan saja merugikan frekuensi
radio legal, masyarakat, pemerintah, tapi juga membahayakan penerbangan karena
mengganggu komunikasi pilot dengan bandara (penerbangan). Contoh di dalam
pesawat, tentunya banyak jiwa manusia yang terancam keselamatannya apabila pada
saat tertentu komunikasi Pilot
dengan Bandara terganggu. Penggunaan
hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan haruslah dilakukan dengan
pendekatan yang berorientasi pada kebijakan hukum pidana guna mencapai tujuan
tertentu. Artinya, sarana hukum pidana akan digunakan, yakni menyangkut
perbuatan apa yang dianggap sebagai tindak pidana dan mengenai sanksi apa yang
akan dikenakan kepada pelaku (Mahmud Mulyadi, 2008:20).
Penggunaan
hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana pencurian frekuensi tentunya
tidak selalu dengan menggunakan sanksi pidana, melainkan juga dapat diterapkan
sanksi yang kedudukannya sama dengan sanksi pidana. Sistem sanksi dalam hukum
pidana saat ini, menempatkan sanksi pidana sebagai sanksi yang primadona,
sehingga keberadaan sanksi tindakan menjadi tidak sepopuler sanksi pidana. Menyikapi
keadaan-keadaan tersebut maka kebijakan pengaturan sanksi terhadap tindak
pidana pencurian frekuensi dapat digunakan dalam rangka hukum di masa yang akan
datang.
Berdasarkan latar belakang di atas maka
rumusan masalahnya dalam penulisan jurnal ini adalah bagaimana
pertanggungjawaban pidana bagi pelaku penggunaan frekuensi radio tanpa izin berdasarkan
UU Nomor
36
tahun 1999
Tentang Telekomunikasi.
Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan dalam penulisan jurnal ini untuk
mengetahui pertanggungjawaban
pidana bagi pelaku penggunaan frekuensi radio tanpa izin berdasarkan UU
Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi.
Kerangka
teori yang
digunakan dalam penulisan ini adalah teori pertanggungjawaban pidana. Vicarious liability adalah suatu konsep pertanggungjawaban seseorang atas
kesalahan yang dilakukan orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih
berada dalam ruang lingkup pekerjaannya (the legal responsibility of one
person for wrongful acts of another, as for example, when the acts are done
within scope of employment) (Muladi Dwidja Priyatno 2010:113).
Dalam kamus Henry Black vicarious liability
diartikan sebagai berikut (Mahrus Ali, 2013:77):
The liability of an
employer for the acts of an employee, of a principle for torts and contracts of
an agent (pertanggungjawaban
majikan atas tindakan dari pekerja; atau pertanggungjawaban principal
terhadap tindakan agen dalam suatu Kontrak ajaran vicarious liability diambil
dari hukum perdata yang kemudian dipakai dalam praktik hukum pidana. Ketentuan
ini misalnya dapat dilihat dalam hukum Pasal 1367 KUH Perdata yang berbunyi “Setiap
orang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya sendiri tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh
barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”. Dalam pasal ini
disebutkan bahwa vicarious liability dapat timbul dalam
hubungan-hubungan sebagai berikut ; (a) tanggung gugat orang tua atau wali
terhadap perbuatan anaknya yang belum dewasa; (b) tanggung gugat majikan
terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan karyawan; dan (c) tanggung
gugat guru-guru sekolah atas perbuatan murid-muridnya.
Apabila dilihat dari konsep
pertanggungjawaban pidana, ajaran vicarious liability mirip dengan
konsep penyertaan (deelneming). Dimana keduanya mensyaratkan ada
(minimal) dua orang yaitu pelaku yang memenuhi rumusan delik (pelaku fisik) dan
pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik (bukan pelaku fisik) yang dapat
dimintai pertanggungjawaban. Menurut Surastini, ajaran ini merupakan perluasan
pertanggungjawaban pidana dari konsep penyertaan. Adapun perbedaannya dapat
dilihat :
a.
Penyertaan (Deelneming)
Pertanggungjawaban terhadap “bukan pelaku fisik” (penyuruh,
penggerak) berdasarkan unsur kesengajaan (niat, kehendak untuk melakukan tindak
pidana).
b.
Pertanggungjawaban pengganti (Vicarious liability)
Pertanggungjawaban pidana terhadap “bukan pelaku fisik”
(atasan, majikan) bukan berdasarkan unsur kesengajaan, tetapi atas dasar adanya
hubungan tertentu antara yang bersangkutan dengan pelaku fisik.
Perluasan tersebut dapat dilihat bahwa dalam
penyertaan, “bukan pelaku fisik” dapat dipertanggungjawabkan pidana
ketika terdapat unsur kesengajaan (mens rea), sedangkan dalam vicarious
liability tanpa kesengajaan pun seseorang dapat dipertanggungjawabkan
pidana asalkan terdapat hubungan tertentu.
Ada dua syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat
menerapkan teori vicarious liability, yaitu (Mahrus Ali, 2013:89):
(1)
Harus terdapat suatu hubungan, seperti hubungan pekerjaan antara majikan dan
pekerja; dan
(2)
Tindak pidana yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus berkaitan atau masih
dalam ruang lingkup pekerjaannya
Di Indonesia, sampai sekarang Kitab Undang Undang Hukum
Pidana (KUHP) belum menganut asas pertanggungjawaban pengganti (vicarious
liability). Walaupun demikian, para pembuat undang undang dan akademisi
sudah mengisyaratkan akan memberlakukan doktrin ini dalam hukum pidana yang
akan datang. Sebagaimana dikatakan Mardjono Reskodiputro (2007:55), doktrin vicarious liability dari
sistem hukum Anglo-Amerika perlu di adaptasikan (atau dicangkokkan) pada sistem
hukum Indonesia yang berasal dari sistem hukum eropa continental. Isyarat ini
dapat dilihat dalam RKUHP tahun 2012, dalam pasal 38 dirumuskan :
(1)
Bagi tindak
pidana tertentu, Undang‑Undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana
semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa
memperhatikan adanya kesalahan.
(2)
Dalam hal
ditentukan oleh Undang-Undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.
Dapat dikemukanan, doktrin vicarious liability dari
sistem hukum Anglo-Amerika perlu di adopsi oleh sistem hukum pidana Indonesia.
Pertama, ajaran ini diharapkan akan memberikan deterrence atau
pencegahan sekaligus pembinaan, agar pemberi kerja (atasan) senantiasa melakukan
pengawasan terhadap kinerja bawahannya, karena mereka harus bertanggungjawab
terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pekerjanya apabila ia melakukan tindak
pidana dalam lingkup tugasnya. Kedua, ajaran ini merupakan perluasan
pertanggungjawaban pidana, yang mana selama ini atasan atau perusahaan selalu
berlindung dari keharusan memikul pertanggungjawaban pidana dengan dalih telah
mendelegasikan kegiatan-kegiatan perusahaan yang berpotensi illegal kepada
pegawainya.
Pemberlakuan doktrin vicarious liability di
Indonesia dalam masa yang akan datang, harus dilakukan dengan
pembatasan-pembatasan yang ketat sebagaimana diungkapkan oleh para pakar
diatas. Diantaranya hanya perbuatan yang ditentukan oleh undang-undanglah yang
dapat dimintai pertanggungjawaban secara vicarious (Pasal 38 ayat 2 RUKUHP
Tahun 2012). Hal ini bertujuan untuk tetap menghormati dan melindungi hak asasi
manusia sebagai hak dasar warga negara.
B. Metode
Penelitian
Jenis penelitian yang
digunakan dalam penulisan ini adalah Yuridis Normatif: yang mengacu pada norma-norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma hukum yang terdapat
dalam masyarakat. Penelitian hukum normatif ini
merupakan suatu prosedur penelitian untuk menemukan kebenaran berdasarkan
logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya
(Johnny Ibrahim,
2005:47). Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu
penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis suatu
peraturan hukum dan menganalisis putusan pengadilan yang berkaitan dengan
tindak pidana Penggunaan Frekuensi radio berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 1999.
Sumber data yang
digunakan dalam penelitian adalah data sekunder, yang meliputi :
a.
Bahan hukum
primer, yaitu merupakan
bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang
dipergunakan, antara lain: UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Kitab UU Hukum Pidana serta Putusan
Pengadilan Negeri Salatiga Nomor 91/Pid.B/2013/PN.Sal hari
Senin tanggal 11 November 2013.
b.
Bahan hukum
sekunder, yang memberikan penjelasan dan ulasan-ulasan terhadap bahan hukum
primer, seperti : hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum, artikel,
pendapat dari pakar hukum yang relevan dengan asas-asas tata kelola Telekomunikasi,
radio, pemberian izin penyiaran dan lain-lain yang berkaitan.
c.
Bahan hukum
tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang dapat memberi petunjuk dan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain berupa Kamus
besar Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Hukum dan Kamus Bahasa Inggris.
Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah Penelitian kepustakaan atau library research, yang dilakukan dengan cara
meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan topik ini, seperti buku-buku
hukum, majalah hukum, artikel-artikel, peraturan perundang-undangan,
putusan-putusan pengadilan yang ada kaitannya dengan penelitian, pendapat para sarjana
dan bahan-bahan lainnya (Bambang Sunggono,2010:113).
Alat
yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah studi
dokumen, yaitu pengumpulan data dengan cara penelusuran kepustakaan, serta informan yang terkait dalam Penelitian
ini.
Teknik analisa
data pada penelitian ini akan dikerjakan dan digunakan sampai berhasil
menyimpulkan kebenaran-kebenaran untuk menjawab persolaan-persoalan yang
diteliti dengan kebenaran analisa berdasarkan literatur dan dasar teori yang
ada. Penelitian
ini menggunakan analisa data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data yang
diperoleh, mengidentifikasikan, mengklarifikasikan, menghubungkan dengan teori
literatur yang mendukung masalah kemudian menarik kesimpulan dengan analisa
kualiatatif. Analisa kualitatif sesuai dengan definisi adalah: Suatu cara
penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis yaitu yang dinyatakan
oleh responden secara tertulis atau lisan serta juga tingkah laku yang nyata,
yang diteliti dengan mempelajari sebagai suatu yang utuh (Soerjono Soekanto,
1983:32).
C. Pembahasan
C.1. Proses Administrasi Permohonan Izin Penyiaran
Jasa Penyiaran Radio dan Jasa Penyiaran Televisi
Perizinan
merupakan instrumen kebijakan pemerintah/pemda untuk melakukan pengendalian
atas eksternalitas negatif yang mungkin ditimbulkan oleh aktivitas sosial
maupun ekonomi yang paling banyak digunakan dalam hukum administratif.
Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah
laku para warga (Hadjon philipus Mandiri, 1993:2). Izin adalah instrumen
yang manfaatnya ditentukan oleh tujuan dan prosedur yang telah ditetapkan oleh
pemerintah dan juga merupakan otoritas dan monopoli pemerintah, jika perizinan
hanya dimaksud sebagai sumber pendapatan, akan memberikan dampak negatif
(disinsetif) bagi pembangunan. Karena hukum merupakan salah satu sarana
pembaharuan dan pembangunan masyarakat (Darji Darmodiharjo dan sidarta, 1998:198).
Panduan Prosedur Administratif Permohonan Izin
Penyelenggaraan Penyiaran bagi Pemohon Lembaga Penyiaran Komunitas Jasa
Penyiaran Radio dan Jasa Penyiaran Televisi ini merupakan panduan bagi Pemohon
dalam proses permohonan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (www.romelteamedia.com).
Menurut Keputusan KPI Nomor 40/SK/KPI/08/2005 tentang Panduan Pelaksanaan
Proses Administrasi Permohonan Izin Penyiaran Jasa Penyiaran Radio dan Jasa
Penyiaran Televisi terebut dibagi menjadi 5 bagian yaitu:
1. Peraturan umum, berisi hal-hal umum
yang perlu diketahui berkaitan dengan izin penyelenggaran penyiaran.
2. Peraturan perundang-undangan perizinan bagi Lembga
Penyiaran, berisi Undang-undang, Peraturan pemerintah dan peraturan KPI serta
keputusan instansi pemerintah dan lembaga terkait yang harus dierhatikan dan
dipenuhi
3. Prosedur permohonan izin
penyelenggaraan Penyiaran, merupakan uraian tahapan yang harus dilalui untuk
mendapatkan Izin Penyelengara Penyiaran (IPP).
4. Persyaratan Rekomendasi kelayakan,
merupakan uraian persyaratan
umum dan persyaratan khusus dalam permohonan IPP, setiap pemohon harus memahami
semua persyaratan tersebut
5. Lain-lain, berisi informasi yang perlu
diketahui oleh pemohon.
Dapat
dikemukakan dalam tahapan pemeriksaan administratif oleh KPI tentang
dokumen dan persyaratan administrasi yang harus dilengkapi oleh Pemohon pada
saat mengajukan permohonannya setelah selesai dilakukan verifikasi administratif oleh KPI
setempat, ternyata berkas tersebut belum lengkap sebagaimana disyaratkan, maka
KPI memberitahukan secara tertulis kepada Pemohon untuk segera melengkapi
berkas permohonannya dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak
Pemohon menerima pemberitahuan tertulis tersebut, yang ditunjang dengan
pemberitahuan lisan (telepon). Apabila persyaratan dan kelengkapan permohonan
tidak dipenuhi dalam jangka waktu tersebut di atas, maka Pemohon dianggap
membatalkan permohonannya atau mengundurkan diri. Apabila berkas permohonan
telah dinyatakan lengkap, maka Pemohon akan menerima Tanda Terima Resmi berkas
permohonan IPP.
C.2. Pengertian
Tindak Pidana Frekuensi Radio
Sebelum
membahas tentang tindak pidana frekuensi radio, terlebih dahulu apa yang
dimaksud dengan tindak pidana. Mengenai
pengertian tindak pidana Strafbaar feit merupakan istilah asli bahasa Belanda
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai arti diantaranya
yaitu, tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun
perbuatan yang dapat dipidana (Adami
Chazawi,
2002:69).
Simons dalam Roni Wiyanto (2012:160),
mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh UU, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan
(schuld) oleh seseorang yang mampu
bertanggung jawab. Rumusan pengertian Tindak Pidana oleh Simons dipandang sebagai rumusan yang lengkap karena akan
meliputi :
1. Diancam dengan pidana oleh hukum
2. Bertentangan dengan hukum
3. Dilakukan oleh seseorang dengan kesalahan (schuld)
4. Seseorang itu dipandang bertanggung jawab atas
perbuatannya.
Menurut penelitian ini jika dijabarkan
(diterapkan) dalam tindak pidana penggunaan frekuensi radio tanpa izin
berdasarkan Pasal 53 UU Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi
sebagaimana dalam isinya:
1.
Barang siapa
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat 1 (Penggunaan
spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah)
atau Pasal 33 ayat 2 (Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit
harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah).
2.
Apabila tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan matinya seseorang,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Dikaitkan kedalam salah satu contohnya Putusan Pengadilan Negeri Salatiga Nomor
91/Pid.B/2013/PN.Sal maka unsur-unsur dari tindak pidana
penggunaan
frekuensi radio tanpa izin adalah:
1. Subyek
Tindak Pidana
Siapa yang bisa menjadi subyek tindak
pidana sebagaimana tercantum dalam KUHP, yaitu seorang manusia sebagai pelaku,
hal ini terdapat dalam perumusan tindak pidana KUHP, sebagaimana dikemukakan
oleh Moeljatno, yaitu: yang dapat menjadi subyek tindak pidana sebagaimana
tercantum dalam KUHP yaitu seorang manusia sebagai pelaku hal ini terdapat di
dalam perumusan tindak pidana KUHP. Daya pikir merupakan syarat bagi subyek
tindak pidana, juga pada wujud hukumnya yang tercantum dalam Pasal KUHP yaitu
hukuman penjara dan hukuman denda.
KUHP dalam perumusannya menggunakan
kata “barang siapa”, “mengambil”, dari tempat
dimana barang tersebut terletak, Oleh karena didalam kata “mengambil” sudah
tersimpul pengertian “sengaja”, maka UU tidak menyebutkan “dengan sengaja
mengambil” hal
ini menunjukkan bahwa yang menjadi subyek tindak pidana adalah manusia.
2. Harus
Ada Perbuatan Manusia
Menguraikan terdapat perbuatan manusia
dalam perkembangannya dapat dilihat dari aktifitasnya. Biasanya perbuatan yang
dilakukan bersifat positif atau aktif tetapi ada pula perbuatan yang negatif
atau pasif yang dapat dikat akan sebagai perbuatan pidana yaitu
(Moeljatno, 2008:79)
:
a. Mengetahui
adanya permufakatan jahat tetapi tidak dilaporkan walaupun ada kesempatan untuk
melapor pada yang berwajib.
b. Tidak
bersedia menjadi saksi
Dapat dikemukakan akibat perbuatan manusia, merupakan syarat
mutlak dari perbuatan atau tindak pidana
frekuensi radio
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat 1 UU Nomor 36 tahun 1999 tentang
Telekomunikasi (Penggunaan spektrum frekuensi radio
dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah) atau Pasal 33 ayat 2 UU Nomor 36 tahun 1999 tentang
Telekomunikasi (Penggunaan spektrum frekuensi radio
dan orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling
mengganggu) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
C.3 Bentuk-Bentuk
Dalam Tindak Pidana Penggunaan Frekuensi Radio tanpa izin
Terjadi tindak pidana di bidang Penyiaran
tidak hanya merugikan secara materi dengan
nilai trilyunan rupiah, tetapi juga menimbulkan ancaman terhadap
penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, penyelenggaraan
telekomunikasi khusus, penyelenggaraan Penyiaran, navigasi dan keselamatan, Amatir Radio dan
Komunikasi Radio Antar Penduduk (KRAP), dan sistem peringatan dini
bencana alam yang sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Penegakan hukum
secara umum merupakan proses dilakukannya upaya untuk menegakan dan
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Terhadap persoalan tindak pidana di
bidang penggunaan frekuensi tanpa izin ini harus dilakukan suatu strategi
penanggulangan baik pencegahan maupun pemberantasannya secara terpadu dan
komprehensif agar dapat menegakkan kedaulatan, keamanan, pembangunan ekonomi
dan citra bangsa Indonesia sebagai negara yang luas dan berdaulat. Pelaksanaan
penegakan hukum di bidang penggunaan frekuensi radio menjadi sangat penting dan
strategis dalam rangka menunjang pembangunan dibidang telekomunikasi khususnya
Penyiaran
secara terkendali dan memberantas perbuatan tindak pidana dibidang penggunaan
frekuensi radio tanpa izin sesuai dengan asas, dalam melaksanakan proses
penyidikan tentunya lebih mengedepankan penegakan hukum secara yuridis formal
meminta pertanggungjawaban formal pelaku berdasarkan asas kesalahan (Mohammad
Ekaputra, 2015:56).
Bentuk Perbuatan yang tergolong dalam tindak pidana penggunaan frekuensi radio
tanpa izin adalah perbuatan (tindakan) yang dilakukan oleh orang perorangan
atau koorporasi dalam Telekomunikasi khususnya rangka pengelolaan Penyiaran
radio namun tidak sesuai dan melanggar asas-asas dan tujuan dari pengelolaan Penyiaran
radio. Pelaku tindak pidana (dader)
menurut doktrin adalah barang siapa yang melaksanakan semua unsur-unsur tindak
pidana yang merupakan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum larangan disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga
dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam
pidana. Pelanggaran adalah perbuatan yang sifatnya melawan hukumnya baru dapat
diketahui setelah ada UU yang menentukan demikian. Perbuatan pidana hanya
menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah
orang yang melakukan perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana, ini tergantung
dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan, sebab
asas dalam pertanggungjawaban pidana ialah: tidak dipidana jika tidak ada
kesalahan (Moeljatno, 2008:153).
C.4
Pertanggungjawaban Pidana bagi Pelaku Penggunaan Frekuensi Radio Tanpa Izin berdasarkan UU Nomor 36 tahun 1999
Tentang Telekomunikasi.
Seseorang
dipertanggungjawabkan secara pidana adalah karena seseorang itu memiliki
kesalahan. Kesalahan ada dua bentuk dalam hukum pidana. Pertama sengaja dan
kelalaian keduanya sama-sama dapat dipertanggungjawabkan. Sengaja adalah
melekat pada dirinya niat atau maksud untuk membuat sesuatu atau tidak membuat
sesuatu yang dilarang atau dipertahankan oleh UU. Unsur-unsur penting
dalam kesengajaan adalah adanya niat (mens
rea) dari pelaku itu sendiri. Ancaman pidana karena kesengajaan lebih berat
dibandingkan dengan kelalaian (Zainal Abidin, 2007:266).
Bentuk
kesengajaan menurut Moeljatno (Moeljatno, 2008:77) terdiri dari tiga :
1.
Kesengajaan sebagai maksud (untuk menimbulkan akibat
tertentu/larangan)
2.
Kesengajaan sebagai kepastian atau keharusan, dan
3.
Kesengajaan bersyarat (dengan mengetahui dan menghendaki
menerima resiko yang besar). Sengaja jenis ini dikenal dengan nama sengaja
sebagai kemungkinan /dolus eventualis.
Kemampuan bertanggungjawab bila dilihat dari keadaan batin orang
yang melakukan perbuatan pidana merupakan kemampuan bertanggungjawab dan
menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan
jiwa orang yang melakukan tindak pidana harus sedemikian rupa sehingga dapat
dikatakan normal, sebab orang yang normal dan sehat inilah yang dapat mengatur
tingkah lakunya sesuai yang dianggap baik oleh masyarakat.
Sementara orang
yang tidak sehat kejiwaannya maka ukuran
tersebut tidak
berlaku baginya tidak ada gunanya untuk adakan pertanggungjawaban, sebagaimana
ditegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 44 KUHP.
Mengingat sanksi
pidana itu keras dan tajam jadi selalu diusahakan menjadi pilihan terakhir
setelah sanksi lain dirasakan kurang. Sama halnya bahwa untuk
suatu tindak pidana tertentu asas Ultimum
remedium itu mewajibkan syarat harus dilakukan upaya pemberian sanksi atau
hal lainnya sebelum dilakukannya upaya pidana baik berupa penjara/kurungan. Bersimpul dari hal di atas sebenarnya
dapat diartikan bahwa Pemidanaan adalah merupakan alternatif terakhir bagi suatu
perbuatan hukum pidana (Yulies Masriani Tiena,,
2006:63).
Sehubungan
dengan penegakan hukum pidana ini, maka Lawrence M. Friedman yang mengkaji dari
sistem hukum (legal system)
menyatakan bahwa ada tiga komponen yang ikut menentukan berfungsinya suatu
hukum (dalam hal ini hukum pidana), yaitu struktur hukum, subtansi hukum, dan
budaya hukumya. ketiga komponen inilah menurut Friedman dapat melakukan
analisis terhadap berkerjanya hukum sebagai suatu sistem (Lawrence
Friedmen, 1984:6).
Pemerintah dan
penegak hukum harus bertindak tegas bagi pengusaha penyiaran radio yang
menggunakan spektrum frekuensi radio tanpa izin, guna untuk
mempertanggungjawabkan atas perbuatan yang melawan hukum oleh si pelaku yang
merupakan sebagai subjek hukum. Mengenai
subjek hukum, Subjek hukum adalah segala sesuatu
yang dapat mempunyai hak dan kewajiban untuk bertindak dalam hukum. Terdiri
dari orang dan badan hukum. Subjek hukum
di bagi atas 2 jenis (Baimsangadji.blogspot.com),yaitu:
a.
Subjek
Hukum Manusia, Subjek hukum Manusia adalah
setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan
kewajiban. Pada prinsipnya orang sebagai subjek hukum dimulai sejak lahir
hingga meninggal
dunia.
b.
Badan
Usaha,
Badan usaha merupakan dasar penting apabila
kita akan membangun suatu bisnis sendiri, yang bermanfaat Sebagai
sarana perlindungan hukum, Sarana promosi, Bukti kepatuhan terhadap aturan
hukum, Mempermudah mendapatkan suatu proyek, Mempermudah pengembangan usaha.
Jika
dikaitkan kedalam kasus Tindak Pidana Penggunaan Frekuensi Radio tanpa izin dalam
Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 91/Pid.B/2013/PN.Salatiga bahwa Terdakwa Arif Arinto Bin
Ngatman pada hari Rabu tanggal 6 Februari 2013 sekitar Pukul 09.30 wib atau
pada suatu waktu dalam bulan Februari Tahun 2013 bertempat di Stasiun Radio
Bahana As-Sunnah Jl. Brigjen Sudiarto No. 16 kel. Mangunsari Kec.
Sidomukti Kota Salatiga, setidak-tidaknya di suatu tempat dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Salatiga, telah menggunakan Spectrum frekuensi Radio dan Oerbit
satelit tanpa Izin Pemerintah, yang dilakukan dengan cara:
Terdakwa
sebagai Direktur Utama PT Bahana As-Sunnah sejak tanggal 9 Juli 2012 bedasarkan
akta pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa Perseroan
Terbatas PT Bahana As-Sunnah tanggal 9 Juli 2012 Nomor 9; kegiatan PT Bahana
As-Sunah adalah menyelenggarakan Penyiaran Radio dan Televisi yang beralamat di jalan
Salatiga-Kopeng Km.13 Kopeng, Getasan, Kabupaten Semarang. Sejak Agustus 2011
tesebut, Studio Penyiaran PT Bahana As-Sunah berpindah alamat dari
jalan Salatiga-Kopeng Km 13 Kopeng, Getasan, Kabupaten Semarang ke Jl. Brigjen
Sudiarto Nomor 16 Kel. Bangunsari Kec.Sidomukti Kota Salatiga, sedangkan
untuk pemancar berpindah ke Dusun Ngemplak Rt 03 Rw 09 Kelurahan Kumpulrejo
Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga, sehingga untuk melakukkan Penyiarannya
jauh dari tempat pemancar, PT Bahana As-Sunnah tanpa ijin dari Pemerintah
menggunakan Ferkuensi Radio 117.940 Mhz dengan memakai 1(satu) unit Pemancar
STL/Link merk tidak ada, type
tidak ada, nomor serie tidak ada,
denan cassing warna hitam ditempel striker bertuliskan Radio Bass 93,2 Mhz
untuk memancarkan dari Studio Penyiaran ke pemancar.
Hari Rabu Tanggal 6 Februari 2013
pukul 09.30 wib, saksi Purwanto dan Budi Widarto dari Balai Monitor Spektrum
Radio Kelas II Semarang bersama Tim penanganan gangguan melakukan pemantauan
pada frekuensi penerbangan dan ditemukan pada frekuensi 117.940 Mhz
dipergunakan sebagai STL/Link radio
siaran Bahana As-Sunnah, dengan menggunakan peralatan monitoring spektrum analyzer/ alat ukur penggunaan frekuensi
radio dan Direktion Finder atau
petunjuk arah, bahwa sumber pancaran dari radio siaran tersebut berada di Jl.
Brigjen Sudiarto No.16 Salatiga.
Selanjutnya
Tim melakukan pemeriksaan dan menanyakan kepada terdakwa selaku Direktur Utama
PT. Bahana As-Sunnah tentang penggunaan frekuensi radio 117.940 Mhz serta
perizinannya, namun ternyata tidak
memiliki Izin Stasiun Radio (ISR) dari Informatika kemudian Sumbe Daya dan
Perangkat Pos dan barang bukti berupa STL/ Link
merk tidak ada, type tidak ada nomor seri tidak ada (cassing berwarna hitam ditempel Striker
bertuliskan Bass FM 93.2 Mhz) maka di bawa ke Balmon Kelas II Semarang.
Berdasarkan
data base Balai Monitoring Kelas II
Semarang bahwa stasiun radio siran PT. Bahana As-Sunnah berdasarkan Izin
Stasiun Radio (ISR) adalah beralamat di jl.Raya Salatiga – Kopeng Km 13
Kelurahan Kopeng, Kecamatan Getasan Kab. Semarang, namun alamat studio radio siaran tersebut
menggunakan STL/Link 117.940 Mhz
memancar dari jl. Brigjen Sudiarto No. 16 Salatiga, penggunaan spektrum
frekuensi radio tersebut yang tidak dilengkapi ISR (Izin Stasiun Radio) dari
Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika sehingga
mengalami kerugian negara karena setiap penggunaan Spektrum frekuensi radio
dikenakan biaya hak Pengguna Frekuensi (BHP).
Penuntut umum di dalam surat
dakwaan yang dibacakan di dalam persidangan, berpendapat bahwa Berdasarkan
kasus tersebut, tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yaitu melanggar Pasal 33
ayat (1) jo Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi
telah terbukti dan memohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili
perkara ini memutuskan, sebagai berikut :
1.
Menyatakan terdakwa Arif Arinto Bin Ngatman terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penggunaan
frekuensi Radio dan Orbit satelit Tanpa Izin Pemerintah” yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 33 ayat (1) jo Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 36 tahun 1999
tentang Telekomunikasi.
2.
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Arif Arinto Bin
Ngatman dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan denda sebesar Rp
5.000.000 (lima juta rupiah).
3.
Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara
sebesar Rp. 2500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
Berdasarkan hasil rapat
musyawara majelis Hakim Pengadilan Negeri Salatiga yang menyidangkan perkara
ini pada hari Jumat tanggaal 8 November 2013, yang putusan tersebut diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Senin tanggal 11 November
2013, telah menjatuhkan putusan terhadap terdakwa, yang amar putusannya sebagai
berikut :
a. Menyatakan
tedakwa Arif Arinto Bin Ngatman telah terbukti sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “menggunakan spectrum frekuensi radio dan Orbit
satelit tanpa ijin Pemerintah”
b. Menjatuhkan
pidana terhadap terdakwa oleh karna itu dengan penjara selama 6 (enam) bulan
dan denda sebesar Rp1.000.000 (satu juta rupiah);
c. Menetapkan
bahwa pidana penjara tersebut tidak perlu dijalani kecuali jika dikemudian hari
ada putusan hakim yang memutuskan lain disebabkan karna terdakwa melakukan perbuatan
yang dapat dipidana sebelum habis masa percobaan selama 1 (satu) tahun;
d. Menetapkan
bahwa apabila pidana denda tesebut tidak dibayar maka akan diganti dengan
pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;
e. Memerintahkan
agar barang bukti berupa: 1(satu) unit STL/Link
merk tidak ada, type tidak ada, Nomor
serie tidak ada, cassing warna hitam dan ditempel striker bertuliskan Radio Bass 93.2 Mhz; dirampas untuk
dimusnahkan;
f. Membebani
biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp 2000, (dua ribu rupiah)
Dari kasus di atas maka
dapat dianalisis, didalam tuntutan oleh jaksa telah
sesuai prosedur yang ada namun jaksa penuntut umum juga harus tetap
memperhatikan asas Lex specialis derogat
legi generalis, untuk menentukan tuntutannya dan
memperhatikan akibat yang dilakukan oleh sipelaku yang melakukan perbuatan yang
untuk memperkaya sendiri atau kelompok usahanya dengan cara melawan hukum yang
dapat merugikan perekonomian negara.
Majelis hakim dalam menentukan kriteria tindak
pidana penggunaan frekuensi tanpa izin yang menjadi pijakan utama adalah melihat
dakwaan atau apa yang didakwakan oleh jaksa Penuntut Umum (JPU). Majelis hakim
dalam memutuskan suatu perkara termasuk melihat dari dakwaan JPU, Yaitu dengan
menganalisa, mempertimbangkan segala sesuatu yang sesuai dengan Pasal 184 KUHAP
mengenai alat-alat bukti yang digunakan di dalam persidangan. Memenuhi syarat
yang telah ditetapkan bahwa surat dakwaan harus memuat uraian secara cermat,
jelas lengkap mengenai tindak yang didakwakan dengan menyebutkan locus delicti dan tempus delictie, syarat ini disebut syarat materiil pada Pasal 143 ayat (2) huruf (b) KUHAP.
Terhadap pelaku tindak pidana berupa
penggunaan frekuensi radio tanpa izin yang harus dipertanggungjawabkan kepada
sipelaku adalah jika sipelaku penggunaan frekuensi radio tanpa izin melakukan
perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) sesuai ketentuan
dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009, perlu diketahui
pula dalam Pasal 8 ayat (2) yaitu, dalam mempertimbangkan berat ringannya suatu
putusan pada pelaku penggunaan frekuensi radio tanpa izin, disini hakim juga
melihat sifat jahat dan baiknya dari pelaku penggunaan frekuensi radio. Teori
dasar petimbangan hakim menurut Pasal 183 KUHAP mengenai pembuktian dalam
perkara tindak pidana penggunaan frekuensi radio tanpa izin terhadap pelakunya,
peranan barang bukti pada tindak pidana penggunaan frekuensi radio tanpa izin,
disamping barang bukti ada 2 (dua) hal yang perlu dipertimbangan oleh hakim
dalam putusan yaitu : 1. Barang bukti; dan 2. Alat bukti.
Mengenai barang bukti dalam kasus ini
berupa 1(satu) unit STL/Link merk tidak ada, type tidak ada
nomor serie tidak ada, cassing warna
hitam dan ditempel striker
bertuliskan untuk dimusnakan, bahwa terhadap pertimbangan hakim memusnahkan
barang bukti tersebut sebaiknya tidak hanya memusnahkanya akan tetapi juga
diberikan sanksi tindakan misalnya tidak melakukan penyiaran untuk beberapa
saat karena mengakibatkan dampak negatif bagi penerbangan dan usaha Penyiaran
lainya selama melakukan Penyiaran (Pasal 10 ayat (1) UU Nomor
36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi), demi tercapainya kemanfaatan hukum, keadilan dan kepastian hukum. Ketika hakim dihadapkan oleh
suatu perkara, dalam dirinya sendiri berlangsung menganalisis suatu proses
pemikiran untuk kemudian memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai
berikut (Bambang Waluyo, 1996:6):
1. Keputusan
mengenai peristiwanya, yaitu apakah terdakwa melakukan perbuatan yang telah
dituduhkan kepadanya.
2. Keputusan
mengenai hukumannya, yaitu apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu
merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah serta dapat
dipidana.
3. Keputusan
mengenai pidananya, yaitu terdakwa memang dapat dipidana.
Sebelum
menjatuhkan putusan, hakim akan menilai dengan arif dan bijaksana serta penuh
kecermatan kekuatan pembuktian dari memeriksa dan kesaksian dalam sidang
pengadilan, sesudah itu hakim akan mengadakan musyawara terakhir untuk
mengambil keputusan yang di dasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang
telah terbukti dalam pemeriksaan sidang.
Dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana penggunaan
frekuensi secara ilegal perlu didasarkan kepada teori, dan asas-asas yang ada (Lex specialis derogat legi generalis) dan
hasil penelitian dengan perhatikan asas-asas yang saling berkaitan sehingga
didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan
praktik. Berdasarkan
Putusan Pengadilan Negeri Salatiga Nomor 91/Pid.B/2013/PN.Salatiga bahwa hakim
menerapkan Pasal
184 ayat (2) KUHAP. Hal yang secara
umum sudah diketahui tidak perlu diketahui. Maka Sebagaimana dari pidana/
hukuman yang terdapat dalam teori pemidanaan yang berusaha untuk mencari tujuan
menjatuhkan pidana yang bermanfaat diterapkan seiring dengan perkembangan
masyarakat, menurut Kant
menyatakan bahwa pemidanaan merupakan suatu “imperatif kategoris”, yaitu tuntutan
mutlak dipidannya seseorang karena telah melakukan kejahatan. Berarti bahwa
tujuan pemidanaan sebenarnya adalah untuk mencegah seseorang untuk melakuan
kejahatan, dan bukan menjadi sarana balas dendam masyarakat terhadap pelaku
suatu tindak pidana.
Upaya penegakan
hukum terhadap tindak pidana penggunaan frekuensi radio tanpa izin diatur di
dalam UU Nomor
36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU tersebut dapat digunakan untuk memberikan sanksi
administratif yaitu berupa pencabutan izin, yang dilakukan setelah diberi
peringatan tertulis. Pengenaan sanksi adminsitrasi dalam ketentuan ini
dimaksudkan sebagai upaya pemerintah dalam rangka pengawasan dan pengendalian
penyelenggaraan Telekomunikasi.
Balai monitoring
bekerja sama juga dengan KPI dan KPID dalam penindakan tertib administrasi dan
tindak pidana penggunaan frekuensi radio yang ilegal dan tindak pidana yang
lainya.
D.
Penutup
D.1.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat
disimpulkan apabila
dilihat dari teori pertanggungjawaban (vicarious liability) bahwa Seseorang
dapat diminta pertanggungjawaban secara pidana apabila celaan yang obyektif terhadap perbuatan itu
kemudian diteruskan kepada si terdakwa, jadi yang obyektif sifat tercelanya
itu, secara subyektif harus dipertanggungjawabkan kepadanya, hal ini terjadi
karena musabab dari pada perbuatan itu adalah diri daripada si pembuatnya. Dalam menentukan bahwa
seseorang itu bersalah atau tidak
harus diperhatikan: Keadaan batin dari orang
yang melakukan perbuatan, hubungan antara keadaan
batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.
Kemampuan bertanggungjawab bila dilihat dari keadaan batin orang
yang melakukan perbuatan pidana merupakan kemampuan bertanggungjawab dan
menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan
jiwa orang yang melakukan tindak pidana harus sedemikian rupa sehingga dapat
dikatakan normal, sebab orang yang normal dan sehat inilah yang dapat mengatur
tingkah lakunya sesuai yang dianggap baik oleh masyarakat.
Sementara orang
yang tidak sehat dan tidak normal, maka ukuran-ukuran tersebut tidak berlaku
baginya tidak ada gunanya untuk adakan pertanggungjawaban, sebagaimana
ditegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 44 KUHP.
Selain itu Pertanggungjawaban
pidana dapat diminta bagi pelaku penggunaan frekuensi radio tanpa izin
tercantum pada Pasal 53 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yaitu dengan dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau
denda paling banyak Rp.400.000.000,
D.2 SARAN
Berdasarkan
kesimpulan diatas, maka adapun saran dalam penelitian ini adalah:
1.
Perlu adanya
sosialisasi dari aparat penegak hukum dalam rangka mencari hukuman yang efektif
untuk dijatukan kepada sipelaku tindak pidana penggunaan frekuensi radio tanpa
izin dan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya dari penggunaan
frekuensi radio tanpa izin Pemerintah.
2.
Perlu adanya
peningkatan kualitas sumber daya Manusia yang telibat di bidang penyiaran dalam
mencegah dan memberantas penggunaan frekuensi radio tanpa izin, terutama pada
lembaga-lembaga penting seperti balai monitoring (PPNS), Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman
DAFTAR PUSTAKA
1.
Buku
Abidin, Zainal, Hukum Pidana 1, Jakarta : Sinar Grafika, 2007
Ali,
Mahrus, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi ,Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2013
Chazawi, Adami, Pelajaran
Hukum Pidana, cetakan I. Jakarta :
PT Rajagrafindo, 2005
Darmodiharjo, Darji dan Sidarta, Pokok- pokok Filsafat Hukum, Jakarta
; Gramedia Pustaka utama,2006
Ekaputra,
Mohammad, Dasar-Dasar Hukum Pidana (edisi kedua), Medan:USU-Press, 2015
Friedmen,
Lawrence, America Law An Introduction, sebagaimana diterjamahkan oleh Wisnu
Basuki, Jakarta: PT Tatanusa, 1984
Ibrahim,
Johnny, Teori & Metode Penelitian
Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publising, 2005
Makarim,
Edmon, Sekilas Perkembangan Teknologi Sistem Informasi Dan Komunikasi dalam
Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
Mandiri, Hadjon
philipus, Penghantar Hukum Perizinan,
Surabaya: Yurdika, 1993
Moeljatno, Azas-azsas Hukum Pidana Jakarta: Rineka Cipta, 2008
Mulyadi,
Mahmud, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Pollicy, Pustaka Bangsa
Press, 2008
Priyatno, Muladi Dwidja
Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Jakarta:, Kencana,
2010
Reksodiputro, Mardjono, Kemajuan
Perkembangan Ekonomi dan Kejahatan (Kumpulan Karangan Buku Kesatu),
Jakarta:Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007
Simanjuntak. Pengertian Radio.,Jakarta:
PT.Buku Seru, 1993
Soekanto,
Soerjono, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta:
Penerbit Bhatara, 1983
Sunggono,Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010
Tiena, Yulies Masriani, Pengantar
Hukum Indonesia, Cetakan II, Jakarta : sinar grafika,
2006
Wahyudi.
Pengertian Radio. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1996
Waluyo, Bambang, Penelitian
Hukum
Dalam
Praktek,
Jakarta: Sinar Grafika,
1996
Wiyanto, Roni,
Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung: C.V.Mandar Maju, 2012
2.
Peraturan
perundang-undangan